Aku bertemu dengan sahabatku Naralita sekarang dia sudah berkeluarga dan menetap di Palembang, suatu hari aku
bertemu dengannya lagi saat di maen ke Yogya dengan anaknya yang masih kecil dan suaminya,
wajah dan bentuk Naralita masih seperti dulu pertama aku kenal dia , kulitnya putih, bibirmya tipis
merah merona rambutnya yang panjang, dan tubuh yang terawat.
Perjumpaan di Yogya ini mengingatkan peristiwa sepuluh tahun lalu ketika ia masih kuliah di sebuah
perguruan tinggi ternama di Yogya. Selama kuliah, ia tinggal di rumah bude, kakak ibunya yang juga
kakak ibuku. Rumahku dan rumah bude agak jauh dan waktu itu kami jarang ketemu Naralita.
Aku mengenalnya sejak kanak-kanak. Ia memang gadis yang lincah, terbuka dan tergolong berotak encer. Setahun setelah aku menikah, isteriku melahirkan anak kami yang pertama.
Hubungan kami rukun dan saling mencintai.
Kami tinggal di rumah sendiri, agak di luar kota. Sewaktu melahirkan, isteriku mengalami pendarahan
hebat dan harus dirawat di rumah sakit lebih lama ketimbang anak kami. Sungguh repot harus merawat
bayi di rumah. Karena itu, ibu mertua, ibuku sendiri, tante (ibunya Naralita) serta Naralita dengan suka
rela bergiliran membantu kerepotan kami.
Semua berlalu selamat sampai isteriku diperbolehkan pulang
dan langsung bisa merawat dan menyusui anak kami.
Hari-hari berikutnya, Naralita masih sering datang menengok anak kami yang katanya cantik dan lucu.
Bahkan, heran kenapa, bayi kami sangat lekat dengan Naralita. Kalau sedang rewel, menangis,
meronta-ronta kalau digendong Naralita menjadi diam dan tertidur dalam pangkuan atau gendongan
Naralita.
Sepulang kuliah, kalau ada waktu, Naralita selalu mampir dan membantu isteriku merawat si kecil.
Lama-lama Naralita sering tinggal di rumah kami. Isteriku sangat senang atas bantuan Naralita.
Tampaknya Naralita tulus dan ikhlas membantu kami.
Apalagi aku harus kerja sepenuh hari dan sering pulang malam. Bertambah besar, bayi kami berkurang
nakalnya. Naralita mulai tidak banyak mampirke rumah. Isteriku juga semakin sehat dan bisa mengurus
seluruh keperluannya. Namun suatu malam ketika aku masih asyik menyelesaikan pekerjaan di kantor,
Naralita tiba-tiba muncul.
BONUS NEW MEMBER 10%
BONUS DEPOSITO 2%
“Ada apa Na, malam-malam begini.”
“Mas Danu, tinggal sendiri di kantor?”
“Ya, Dari mana kamu?”
“Sengaja kemari.”
Naralita mendekat ke arahku. Berdiri di samping kursi kerja. Naralita terlihat mengenakan rok dan Tshirt
warna kesukaannya, pink. Tercium olehku bau parfum khas remaja.
“Ada apa, Naralita?”
“Mas.. aku pengin seperti Mbak Tari.”
“Pengin? Pengin apanya?” Naralita tidak menjawab tetapi malah melangkah kakinya yang putih mulus
hingga berdiri persis di depanku. Dalam sekejap ia sudah duduk di pangkuanku.
“Naralita, apa-apaan kamu ini..” Tanpa menungguku selesai bicara, Naralita sudah menyambarkan
bibirnya di bibirku dan menyedotnya kuat-kuat. Bibir yang selama ini hanya dapat kupandangi dan
bayangkan, kini benar-benar mendarat keras.
Kulumanya penuh nafsu dan nafas halusnya menyeruak. Lidahnya dipermainkan cepat dan menari
lincah dalam rongga mulutku. Ia mencari lidahku dan menyedotnya kuat-kuat. Aku berusaha
melepaskannya namun sandaran kursi menghalangi. Lebih dari itu, terus terang ada rasa nikmat
setelah berbulan-bulan tidak berhubungan intim dengan isteriku.
Naralita merenggangkan pagutannya dan katanya, “Mas, aku selalu ketagihan Mas. Aku suka
berhubungan dengan laki-laki, bahkan beberapa dosen telah kuajak beginian. Tidak bercumbu
beberapa hari saja rasanya badan panas dingin. Aku belum pernah menemukan laki-laki yang pas.”
Kuangkat tubuh Naralita dan kududukkan di atas kertas yang masih berserakan di atas meja kerja. Aku
bangkit dari duduk dan melangkah ke arah pintu ruang kerjaku. Aku mengunci dan menutup kelambu
ruangan.
“Na.. Kuakui, aku pun kelaparan. Sudah empat bulan tidak bercumbu dengan Tari.”
“Jadikan aku Mbak Tari, Mas. Ayo,” kata Naralita sambil turun dari meja dan menyongsong langkahku.
Ia memelukku kuat-kuat sehingga dadanya yang empuk sepenuhnya menempel di dadaku. Terasa pula
penisku yang telah mengeras berbenturan dengan perut bawah pusarnya yang lembut.
Naralita merapatkan pula perutnya ke arah kemaluanku yang masih terbungkus celana tebal. Naralita
kembali menyambar leherku dengan kuluman bibirnnya yang merekah bak bibir artis terkenal. Aliran
listrik seakan menjalar ke seluruh tubuh. Aku semula ragu menyambut keliaran Naralita. Namun ketika
kenikmatan tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuh, menjadi mubazir belaka melepas kesempatan ini.
“Kamu amat bergairah, Naralita..” bisikku lirih di telinganya.
“Hmm.. iya.. Sayang..” balasnya lirih sembari mendesah.
“Aku sebenarnya menginginkan Mas sejak lama.. ukh..” serunya sembari menelan ludahnya.
“Ayo, Mas.. teruskan..”
“Ya Sayang. Apa yang kamu inginkan dari Mas?”
“Semuanya,” kata Naralita sembari tangannya menjelajah dan mengelus batang kemaluanku. Bibirnya
terus menyapu permukaan kulitku di leher, dada dan tengkuk. Perlahan kusingkap T-Shirt yang
dikenakannya.
Kutarik perlahan ke arah atas dan serta merta tangan Naralita telah diangkat tanda meminta T-Shirt
langsung dibuka saja. Kaos itu kulempar ke atas meja. Kedua jemariku langsung memeluknya kuatkuat
hingga badan Naralita lekat ke dadaku.
Kedua bukitnya menempel kembali, terasa hangat dan lembut. Jemariku mencari kancing BH yang
jatuh ke lantai dan kini ujung payudaranya menempel lekat ke arahku.
Aku melorot perlahan ke arah dadanya dan kujilati penuh gairah. Permukaan dan tepi putingnya terasa
sedikit asin oleh keringat Naralita, namun menambah nikmat aroma gadis muda.
Tangan Naralita mengusap-usap rambutku dan menggiring kepalaku agar mulutku segera menyedot
putingnya.
“Sedot kuat-kuat Mas, sedoott..” bisiknya. Aku memenuhi permintaannya dan Naralita tak kuasa
menahan kedua kakinya. Ia seakan lemas dan menjatuhkan badan ke lantai berkarpet tebal. Ruang
ber-AC itu terasa makin hangat.
“Mas lepas..” katanya sambil telentang di lantai. Naralita meminta aku melepas pakaian. Naralita sendiri
pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku pun berbuat demikian namun masih kusisakan celana
dalam. Naralita melihat dengan pandangan mata sayu seperti tak sabar menunggu.
Segera aku menyusulnya, tiduran di lantai. Kudekap tubuhnya dari arah samping sembari kugosokkan
telapak tanganku ke arah putingnya. Naralita melenguh sedikit kemudian sedikit memiringkan tubuhnya
“Mas sedot Mas.. teruskan, enak sekali Mas.. enak..” Kupenuhi permintaannya sembari kupijat-pijat
pantatnya. Tanganku mulai nakal mencari selangkangan Naralita. Rambutnya tidak terlalu tebal namun datarannya cukup mantap untuk mendaratkan pesawat “cocorde” milikku. Kumainkan jemariku di sana
dan Naralita tampak sedikit tersentak.
“Ukh.. khmem.. hss.. terus.. terus,” lenguhnya tak jelas. Sementara sedotan di putingnya kugencarkan,
jemari tanganku bagaikan memetik dawai gitar di pusat kenikmatannya.
Terasa jemari kanan tengahku telah mencapai gumpalan kecil daging di dinding atas depan vaginanya,
ujungnya kuraba-raba lembut berirama. Lidahku memainkan puting sembari sesekali menyedot dan
menghembusnya. Jemariku memilin klitoris Naralita dengan teknik petik melodi.
Naralita menggelinjang-gelinjang, melenguh-lenguh penuh nikmat. “Mas.. Mas.. ampun.. terus, ampun..
terus ukhh..” Sebentar kemudian Naralita lemas. Namun itu tidak berlangsung lama karena Naralita
kembali bernafsu dan berbalik mengambil inisitif.
Tangannya mencari-cari arah kejantananku. Kudekatkan agar gampang dijangkau, dengan serta merta
Naralita menarik celana dalamku. Bersamaan dengan itu melesat keluar pusaka kesayangan Tari.
Akibatnya, memukul ke arah wajah Naralita.
“Uh.. Mas.. apaan ini,” kata Naralita kaget. Tanpa menunggu jawabanku, tangan Naralita langsung
meraihnya. Kedua telapak tangannya menggenggam dan mengelus penisku.
“Mas.. ini asli?”
“Asli, 100 persen,” jawabku.
Naralita geleng-geleng kepala. Lalu lidahnya menyambar cepat ke arah permukaan penisku yang
berdiameter 6 cm dan panjang 19 cm itu, sedikit agak bengkok ke kanan. Di bagian samping kanan
terlihat menonjol aliran otot keras.
Bagian bawah kepalanya, masih tersisa sedikit kulit yang menggelambir. Otot dan gelambiran kulit
itulah yang membuat perempuan bertambah nikmat merasakan tusukan senjata andalanku.
“Mas, belum pernah aku melihat penis sebesar dan sepanjang ini.”
“Sekarang kamu melihatnya, memegangnya dan menikmatinya.”
“Alangkah bahagianya MBak Tari.”
“Makanya kamu pengin seperti dia, kan?”
Naralita langsung menarik penisku. “Mas, aku ingin cepat menikmatinya. Masukkan, cepat masukkan.”
Naralita menelentangkan tubuhnya. Pahanya direntangkannya. Terlihat betapa mulus putih dan bersih Diantara bulu halus di selangkangannya, terlihat lubang vagina yang mungil. Aku telah berada di antara
pahanya. Exocet-ku telah siap meluncur. Naralita memandangiku penuh harap.
“Cepat Mas, cepat..”
“Sabar Naralita. Kamu harus benar-benar terangsang, Sayang..”
Namun tampaknya Naralita tak sabar. Belum pernah kulihat perempuan sekasar Naralita. Dia tak ingin
dicumbui dulu sebelum dirasuki penis pasangannya. “Cepat Mas..” ajaknya lagi. Kupenuhi
permintaannya, kutempelkan ujung penisku di permukaan lubang vaginanya, kutekan perlahan tapi
sungguh amat sulit masuk, kuangkat kembali namun Naralita justru mendorongkan pantatku dengan
kedua belah tangannya. Pantatnya sendiri didorong ke arah atas.
Tak terhindarkan, batang penisku bagai membentur dinding tebal. Namun Naralita tampaknya ingin
main kasar. Aku pun, meski belum terangsang benar, kumasukkan penisku sekuat dan sekencangnya.
Meski perlahan dapat memasukirongga vaginanya, namun terasa sangat sesak, seret, panas, perih dan
sulit. Naralita tidak gentar, malah menyongsongnya penuh gairah.
“Jangan paksakan, Sayang..” pintaku.
“Terus. Paksa, siksa aku. Siksa.. tusuk aku. Keras.. keras jangan takut Mas, terus..” Dan aku tak bisa
menghindar. Kulesakkan keras hingga separuh penisku telah masuk. Naralita menjerit, “Aouwww..
sedikit lagi..” Dan aku menekannya kuat-kuat.
Bersamaan dengan itu terasa ada yang mengalir dari dalam vagina Naralita, meleleh keluar. Aku
melirik, darah.. darah segar. Naralita diam. Nafasnya terengah-engah. Matanya memejam. Aku
menahan penisku tetap menancap.
Tidak turun, tidak juga naik. Untuk mengurangi ketegangannya, kucari ujung puting Naralita dengan
mulutku. Meski agak membungkuk, aku dapat mencapainya. Naralita sedikit berkurang ketegangannya.
Beberapa saat kemudian ia memintaku memulai aktivitas. Kugerakkan penisku yang hanya separuh
jalan, turun naik dan Naralita mulai tampak menikmatinya. Pergerakan konstan itu kupertahankan
cukup lama. Makin lama tusukanku makin dalam. Naralita pasrah dan tidak sebuas tadi.
Ia menikmati irama keluar masuk di liang kemaluannya yang mulai basah dan mengalirkan cairan
pelicin. Naralita mulai bangkit gairahnya menggelinjang dan melenguh dan pada akhirnya menjerit lirih,
“Uuuhh.. Mas.. uhh.. enaakk.. enaakk.. Terus.. aduh.. ya ampun enaknya..” Naralita melemas dan
terkulai. Kucabut penisku yang masih keras, kubersihkan dengan bajuku. Aku duduk di samping
Naralita yang terkulai.
“Naralita, kenapa kamu? “Lemas, Mas. Kamu amat perkasa.”
“Kamu juga liar.”
Naralita memang sering berhubungan dengan laki-laki. Namun belum ada yang berhasil menembus
keperawanannya karena selaput daranya amat tebal. Namun perkiraanku, para lelaki akan takluk oleh
garangnya Naralita mengajak senggama tanpa pemanasan yang cukup. Gila memang anak itu, cepat
panas.
Sejak kejadian itu, Naralita selalu ingin mengulanginya. Namun aku selalu menghindar. Hanya sekali
peristiwa itu kami ulangi di sebuah hotel sepanjang hari. Naralita waktu itu kesetanan dan kuladeni
kemauannya dengan segala gaya. Naralita mengaku puas.
Setelah lulus, Naralita menikah dan tinggal di Palembang. Sejak itu tidak ada kabarnya. Dan, ketika
pulang ke Yogya bersama anaknya, aku berjumpa di rumah bude.
“Mas Danu, mau nyoba lagi?” bisiknya lirih.
Aku hanya mengangguk.
“Masih gede juga?” tanyanya menggoda.
“Ya, tambah gede dong.”
Dan malamnya, aku menyambangi di hotel tempatnya menginap. Pertarungan pun kembali terjadi
dalam posisi sama-sama telah matang.
“Mas Danu, Mbak Tari sudah bisa dipakai belum?” tanyanya.
“Belum, dokter melarangnya,” kataku berbohong.
Dan, Naralita pun malam itu mencoba melayaniku hingga kami sama-sama terpuaskan. (GS)
0 Comments